Mohon izin admin, bagaimana saya bisa mengirim tulisan saya di bawah ini?
LEN

Keterangan Foto: Dadi Rianto Werang saat berpose bersama Martina Huler
Tahun 2005 silam, saat di mana kuputuskan untuk mengakhiri masa lajangku dengan menikahi seorang gadis yang menjadi pilihan hatiku, engkau memutuskan untuk datang dari negeri seberang. Kala itu, kulihat engkau sedang mengendong anak pertamamu sambil melangkahkan kaki menuju rumah kita melalui ujung jalan ini.
Beberapa waktu berselang, sesudah diriku mengikrarkan sakramen perkawinan dan menggelar resepsi sederhana itu, engkau lalu memutuskan untuk kembali ke tempatmu. Seingatku, peristiwa itu merupakan terakhir kali kita bertemu seusai dirimu dipersunting pria pujaanmu dari pulau seberang.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan kurang lebih sekitar 16 tahun lamanya, wajah maupun rupamu tak kulihat lagi.
Len, adikku.
Tersebab oleh rasa rinduku yang gagal ditelan waktu,
entah mengapa
di ujung jalan ini kududuk menantimu sembari menyulam kembali helai-helai kisah yang tak selesai, sebab kumiliki kesedihan sekaligus kebahagiaan dengan membawa serta alasan sebaik kumiliki kenangan dan dirimu.
Sejurus kemudian, kulayangkan pandangan ke pinggir jalan itu seraya menumpahkan secercap harap yang perlahan menjelma dalam syair lagu ini, agar kelak rinduku padamu tak lekas menemukan jalan pulang. Celakanya, semesta sedang bercanda menyimpan kesedihan persis di ujung jalan ini, Len.
Di sini, di ujung jalan ini diriku masih tetap menantimu pulang walau ayam jago sudah kembali bertengger ke ranting pohon.
Sesudahnya, pada penghujung antara malam dan pagi di ujung jalan ini,
kuputuskan untuk kembali ke rumah. Bukan! Bukan karena lelah menanti kehadiranmu, Len. Hanya saja, rasa sayang dan rindu terhadapmu sebanding dengan rasa sayang dan cemas kepada mama sebab dialah setitik cahaya yang membuatku semangat menapaki hidup hingga detik ini.
Dengan langkah berat dan teliti kulangkahkan kaki kembali ke rumah. Setibanya di rumah, kudapati mama sedang termenung di beranda rumah.
Beberapa lama berselang, gerimis pada kelopak matanya mempercepat kelam hingga mama lupa betapa berharga dirinya. Tahukah engkau saat menumpahkan kesedihannya mama selalu menyebut namamu, Len.? Tahukah engkau bahwa peristiwa seperti ini kerap dilakukannya saat rindu yang teramat untukmu tak mampu di bendung mama, Len.?
Sungguh!
Di jemari mama yang kurus tergengam sepiring sepi yang renta dan rintihannya selalu berakhir hambar.
Tahukah engkau, Len.? Kenangan tentangmu abadi di rahim waktu;
tak serupa kerumunan semut-semut di kerajaan insekta, bersitatap lalu berkabar tentang kenangan yang tidak lagi beraroma. Baginya mengingatmu adalah candu. Tahukah itu, Len.?
Saban waktu pada satu malam yang paling arang, mama merapalkan kedua tangganya dan memanjatkan doa pada Tuan Lera Wulan Tanah Ekan. Saat mendaraskan doa penuh khusyuk, tetiba bulir-bulir bening tumpah dari kelopak matanya dan membasahi pipinya yang keriput.
Melihat itu, mendadak bulir-bulir bening itu berpindah ke dalam kelopak mata dan hati ini pecah berkeping-keping serupa kaca. Dalam remang airmata yang mulai mengenangi kelopak mata ini, kulihat tangis mama pecah sejadi-jadinya. Tiada luka yang paling getir selain melihat itu, Len. Sungguh.!
Hingga detik ini saya belum memahami hubungan antara titik bening tumpah dari kelopak mata mama dan hati yang mendadak pecah serupa kaca. Namun, satu hal yang kutahu perasaan itu begitu menyiksa.
Len, adikku. Rindu yang mama tampung sekian tahun telah menjadi duri. Tak terhitung lagi banyak doa yang berguguran juga airmata.
Meski demikian, hati mama selalu menerima walau seribu tahun terluka.
Paling kurang saat menulis ini, saya mulai memahami mengapa pasir tidak dapat membenci laut meski deburan ombak menimpalinya dengan pasang dan surut berkali-kali.
Di rumah ini, kerapkali mama menangis, meratap, mengeluh, seraya membumbungkan harapan agar kelak jika semesta merestui engkau datang mengunjungi kami dari ujung jalan itu.
Len, adikku.
Kesedihan yang dirasakan mama karena engkau membuat keputusan untuk menanggalkan suku kita hanya untuk masuk ke dalam suku baru mengikuti suamimu. Itu pilihanmu, Len dan engkau bebas memilih sebab engkau manusia merdeka.
Hanya saja, entah kau berada berada dalam keadaan untung maupun malang, tolong jangan melupakan mama dan saudara saudarimu di kampung halaman.
Len, mama tidak lagi mudah seperti dahulu. Mama tidak mampu lagi memanjat lontar dan menangkap ikan selepas ayah memilih untuk tidur selamanya. Kini, mama berada di ujung senja sebagaimana halnya dedaunan yang telah menguning dan akan berpisah dari ranting-rantingnya. Sewaktu-waktu mama akan berpisah dari ranting tempatnya berpijak!
Apakah engkau menunggu dedaun gugur dari ranting untuk bersatu dengan tanah barulah engkau akan datang. ? Itukah maumu, Len?
Sesekali, sempatkanlah waktumu untuk datang mengunjungi kami di sini.
Tulisan ini terinspirasi dari lagu
" Kian Moe Binek" yang merupakan single perdana Dadi Endi Rere Werang dan secara khusus dipersembahkan kepada adik perempuan yang telah menikah secara khusus kepada Valentina Peten Ana Werang.